Awalnya puyuh kurang mendapat perhatian dari peternak. Tubuh dan telurnya terlalu kecil, sedangkan cara hidupnya yang liar menimbulkan kesan bahwa puyuh sulit diternakkan. Kalau pun dapat akan merepotkan. Akibatnya banyak kalangan yang berpendapat bahwa beternak puyuh tidak akan pernah membawa keuntungan sama sekali. Namun setelah penelitian tentang puyuh menunjukkan bahwa puyuh sangat mirip dengan ayam dan kalkun, barulah unggas kecil ini dilirik untuk muali diternakkan.
Puyuh, ayam dan kalkun memiliki kemiripan dari segi genetik, yaitu adanya 38 pasang kromosom tubuh (autosom) dan 2 kromosom seks.Di Jepang, puyuh pertama kali diternakkan sebagai burung ocehan (song bird) atau burung aduan. Domestifikasi Coturnix dilakukan oleh National Institute of Genetic, Mishima, Jepang. Begitu pula di INdonesia, puyuh bukanlah unggas yang dilirik untuk diternakkan. Namun setelah masyarakat mencanangkan puyuh sebagai salah satu ternak alternatif penunjang peningkatan penyediaan protein hewani masyarakat, barulah puyuh terangkat namanya. Peternak pun mulai bergairah untuk mengusahakan ternak ini.
Namun banyak peternak yang mengalami hambatan bahkan sampai gulung tikar. Kendala yang menjadi penyebab bermacam-macam, tetapi rata-rata penyebab utamannya adalah kurangnya pengetahuan peternak tentang tata cara pemeliharaan. Akibatnya, banyak peternak hanya meraba-raba dan mencoba-coba dalam pemeliharaan puyuh. Tidak sedikit pula yang mempraktikkan cara pemeliharaan ternak ayam untuk diterapkan pada ternak puyuh. Tentu saja hal ini bisa berakibat fatal karena puyuh sedikit banyak meawrisi sifat-sifat burung liar sehingga cara pemeliharaanya pun berbeda.
Kemampuan tumbuh dan berkembang biak puyuh sangat cepat. Dalam waktu 41 hari, puyuh mampu berproduksi dan dalam satu tahun dapat dihasilkan tiga sampai empat keturunan. Dibandingkan burung sebangsanya, produksi burung puyuh menempati ranking pertama. Dalam setahun, puyuh mampu menghasilkan 250-300 butir telur. Ukuran tubuhnya yang kecil pun menguntungkan peternak karena dapat memlihara puyuh dalam jumlah besar di lahan yang tidak terlaluluas.
Nilai gizi telur dan daging puyuh tidak kalah dengan telur dan dan daging unggas lain sehingga menambah variasi dalam penyediaan sumber protein hewani dan memberikan konsumen banyak pilihan. Banyaknya keuntungan yang dapat diambil dari beternak puyuh belum mampu menghilangkan ketakutan peternak untuk memulai usahanya. Sebenarnya, kegagalan tidak akan terjadi bila para peternak mengetahui cara beternak dan merawat puyuh secara baik dan benar. Kemajuan usaha ini perlu ditunjang pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh dari luar, misalnya pengalaman dari para peternak yang sudah cukup sukses di Blitar